Minggu, 14 Oktober 2012

INFORMED CONSENT
Anda Berhak Tahu Semuanya

Home Persetujuan & Penolakan Informed Consent Informed C & Pengadilan Penolakan Tindakan
Informed consent

Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.

Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang kuat. Menurut American College of Physicians’ Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.

Saat untuk memberi informasi
        Setelah hubungan dokter pasien terbentuk, dokter memiliki kewajiban untuk memberitahukan pasien mengenai kondisinya; diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, terapi, risiko, alternatif, prognosis dan harapan. Dokter seharusnya tidak mengurangi materi informasi atau memaksa pasien untuk segera memberi keputusan. Informasi yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan pasien.Add content to your paragraph here.
Elemen-elemen Informed consent

Suatu informed consent harus meliputi :
Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya
Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar kemungkinan keberhasilannya
Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila penyakit tidak diobati
Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi

Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.
 
Ruang Lingkup Pemberian Informasi

Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien.

Di Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa yang kompeten memiliki hak dasar menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk pelaksanaan dan penghentian pengobatan yang bersifat memperpanjang nyawa. Beberapa pengadilan membolehkan dokter untuk tidak memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan. Dalam mempertimbangkan perlu tidaknya mengungkapkan diagnosis penyakit yang berat, faktor emosional pasien harus dipertimbangkan terutama kemungkinan bahwa pengungkapan tersebut dapat mengancam kemungkinan pulihnya pasien.
        Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah  dilakukan inkonklusif.
HAL-HAL YANG DIINFORMASIKAN
Hasil Pemeriksaan

Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.

 Risiko

Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.

 Alternatif

Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.

 Rujukan/ konsultasi

Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.

 Prognosis

            Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari informed consent.
Standar Pengungkapan Yang Dikembangkan Oleh Pengadilan

Dua pendekatan diadaptasi oleh pengadilan dalam menggambarkan lapangan kewajiban pengungkapan seorang dokter - standar pengungkapan profesional, standar pengungkapan umum, atau standar pasien secara layak.

Di bawah standar pengungkapan profesional, tugas dokter untuk membuka rahasia diatur oleh standar pelaku medis, dilakukan di dalam lingkungan yang sama atau serupa. Standar pengungkapan ini yang diatur seterusnya baik oleh undang-undang maupun hukum umum pada mayoritas peraturan Amerika Serikat menetapkan bahwa seorang dokter harus memberi informasi sesuai dengan pelayanan kedokteran terkini. Banyak pengadilan telah menegakkan standar pelaksana medis dalam komunitas yang sama atau serupa, di bawah lingkungan yang sama atau serupa. Jika seorang dokter bertugas untuk mengungkapkan suatu fakta dan jika begitu, fakta apa yang wajib diberitahukan bergantung pada yang biasa dilakukan pada komunitas setempat.

Standar pengungkapan umum atau standar pasien secara layak, yang ditetapkan seterusnya oleh undang-undang atau hukum umum dalam peraturan minoritas yang bermakna, membebankan tugas pada dokter untuk memberitahu setiap informasi yang akan bergantung pada proses pembuatan keputusan oleh pasien. Hal ini berbeda-beda sesuai kemampuan pasien untuk memahaminya. Bahkan dalam pengakuan medis ahli yang mendukung, seseorang dapat saja melanggar standar pengungkapan yang seharusnya dalam peraturan ini jika juri berkesimpulan bahwa informasi spesifik yang tidak diberitahukan akan berpengaruh bermakna terhadap keputusan pasien apakah akan menjalani terapi tertentu atau tidak. Standar umum membiarkan juri untuk memutuskan apakah dokter memberikan informasi yang cukup pada pasien untuk membuat pilihan terhadap tatalaksana, sedangkan standar profesional membiarkan dokter untuk menunjukkan apakah ia memberikan informasi yang cukup sesuai standar pelayanan medis dalam komunitas tersebut. Perkembangan terkini adalah pengadilan yang mengadaptasi bentuk standar umum.

Sekali telah ditegakkan, baik oleh standar profesional atau umum, bahwa pasien tidak menerima informasi yang biasanya dibutuhkan untuk membuat pilihan bijak mengenai apakah akan menolak atau menyetujui terapi, pengadilan akan memperhatikan materi dari informasi yang kurang tersebut; yaitu akankah seseorang menolak atau menyetujui jika berada dalam lingkungan yang sama atau serupa. Dengan kata lain, apakah kurangnya informasi menyebabkan kecacatan/kerugian yang memang sudah diduga atau akankah pasien tetap menyetujuinya dalam keadaan apapun. Tergantung dari peraturan yang terlibat, pengadilan telah menetapkan satu dari dua standar yaitu standar objektf (juri memutuskan apakah pasien dalam keadaan serupa akan menolak terapi) atau standar subyektif (juri memutuskan apakah pasien yang sebenarnya akan menolak terapi). Kebanyakan peraturan  mengikuti standar objektif.
Siapa yang mengungkapkan ?

Siapa yang bertanggungjawab untuk mendapatkan informed consent pasien - pengadilan umumnya telah menempatkan tugas ini pada dokter yang didatangi pasien pada waktu ada pertanyaan. Pengadilan umumnya mengenali bahwa dokter, bukan perawat atau paramedis lainnya, berkemampuan untuk mendiskusikan tatalaksana dan penanganannya. Perawat atau paramedis lainnya mungkin hanya penambah atau pelengkap informasi spesifik dari dokter dengan informasi umum tergantung situasi pasien. Dokter, selain dari dokter pertama pasien, memiliki kewajiban yang independen untuk memberi informasi mengenai risiko, keuntungan, dan alternatif pilihan yang ditujukan padanya.

Pengadilan sangat jelas dalam opini tertulisnya bahwa tanggung jawab untuk memperoleh informed consent dari pasien tetap dengan dokter dan tidak dapat didelegasikan. Dokter dapat mendelegasikan otoritasnya (wewenangnya) untuk memperoleh informed consent kepada dokter lain namun tidak dapat mendelegasikan tanggung-jawabnya untuk mendapatkan informed consent yang tepat.
Peranan Rumah Sakit

            Pertanyaan yang sering muncul, terutama dari dokter yang berpraktek di rumah sakit adalah ”Apakah rumah sakit memiliki tanggung jawab untuk menjamin bahwa pasien menerima informasi yang cukup meskipun pengadilan telah menempatkan tugas primer kepada dokter?”

            Dalam teori respondeat superior, manajer rumah sakit dapat ditahan dengan dokter pegawai rumah sakit yang lalai untuk memperoleh informed consent yang dapat menimbulkan kecacatan dan kegawatan pada pasien. Kebijakan rumah sakit harus mengatur mengenai bagaimana informed consent diperoleh. Perawat atau petugas rumah sakit lainnya harus menunda terapi yang sudah direncanakan dokter jika persetujuan yang sebelumnya sudah diberikan ditarik kembali oleh pasien, sehingga dokter dapat mengklarifikasi kembali keputusan pasien. Pengadilan cenderung untuk menjatuhkan kewajiban yang lebih ketat kepada rumah sakit untuk memastikan bahwa dokter memperoleh persetujuan/penolakan sebelum melakukan tindakan.
Bentuk Persetujuan/Penolakan

Rumah sakit memiliki tugas untuk menjamin bahwa informed consent sudah didapat. Istilah untuk kelalaian rumah sakit tersebut yaitu ”fraudulent concealment”. Pasien yang akan menjalani operasi mendapat penjelasan dari seorang dokter bedah namun dioperasi oleh dokter lain dapat saja menuntut malpraktik dokter yang tidak mengoperasi karena kurangnya informed consent dan dapat menuntut dokter yang mengoperasi untuk kelanjutannya.

Bentuk persetujuan tidaklah penting namun dapat membantu dalam persidangan bahwa persetujuan diperoleh. Persetujuan tersebut harus berdasarkan semua elemen dari informed consent yang benar yaitu pengetahuan, sukarela dan kompetensi.

Beberapa rumah sakit dan dokter telah mengembangkan bentuk persetujuan yang merangkum semua informasi dan juga rekaman permanen, biasanya dalam rekam medis pasien. Format tersebut bervariasi sesuai dengan terapi dan tindakan yang akan diberikan. Saksi tidak dibutuhkan, namun saksi merupakan bukti bahwa telah dilakukan informed consent. Informed consent sebaiknya dibuat dengan dokumentasi naratif yang akurat oleh dokter yang bersangkutan.
 
Otoritas Untuk Memberikan Persetujuan

Seorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui terapi yang direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik atau kejiwaan dan tidak mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed consent yang sah. Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika pengadilan telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas terhadap pasien.

Persetujuan pengganti ini menimbulkan beberapa masalah. Otoritas seseorang terhadap persetujuan pengobatan bagi pasien inkompeten termasuk hak untuk menolak perawatan tersebut. Pengadilan telah membatasi hak penolakan ini untuk kasus dengan alasan yang tidak rasional. Pada kasus tersebut, pihak dokter atau rumah sakit dapat memperlakukan kasus sebagai keadaan gawat darurat dan memohon pada pengadilan untuk melakukan perawatan yang diperlukan. Jika tidak cukup waktu untuk memohon pada pengadilan, dokter dapat berkonsultasi dengan satu atau beberapa sejawatnya.

Jika keluarga dekat pasien tidak setuju dengan perawatan yang direncanakan atau jika pasien, meskipun inkompeten, mengambil posisi berlawanan dengan keinginan keluarga, maka dokter perlu berhati-hati. Terdapat beberapa indikasi dimana pengadilan akan mempertimbangkan keinginan pasien, meskipun pasien tidak mampu untuk memberikan persetujuan yang sah. Pada kebanyakan kasus, terapi sebaiknya segera dilakukan (1) jika keluarga dekat setuju, (2) jika memang secara medis perlu penatalaksanaan segera, (3) jika tidak ada dilarang undang-undang.

Cara terbaik untuk menghindari risiko hukum dari persetujuan pengganti bagi pasien dewasa inkompeten adalah dengan membawa masalah ini ke pengadilan.

Kemampuan Memberi Perijinan

Perijinan harus diberikan oleh pasien yang secara fisik dan psikis mampu memahami informasi yang diberikan oleh dokter selama komunikasi dan mampu membuat keputusan terkait dengan terapi yang akan diberikan. Pasien yang menolak diagnosis atau tatalaksana tidak menggambarkan kemampuan psikis yang kurang. Paksaan tidak boleh digunakan dalam usaha persuasif. Pasien seperti itu membutuhkan wali biasanya dari keluarga terdekat atau yang ditunjuk pengadilan untuk memberikan persetujuan pengganti.

Jika tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi kuasa untuk bertindak atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari pengacara. Jika tidak ada wali bagi pasien inkompeten yang sebelumnya telah ditunjuk oleh pengadilan, keputusan dokter untuk memperoleh informed consent diagnosis dan tatalaksana kasus bukan kegawatdaruratan dari keluarga atau dari pihak yang ditunjuk pengadilan tergantung kebijakan rumah sakit. Pada keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat diantara anggota keluarga terhadap perawatan pasien atau keluarga yang tidak dekat secara emosional atau bertempat tinggal jauh, maka dianjurkan menggunakan laporan legal dan formal untuk menentukan siapa yang dapat memberikan perijinan bagi pasien inkompeten.
 
Pengecualian terhadap materi pemberitahuan


Terdapat empat pengecualian yang dikenal secara umum terhadap tugas dokter untuk membuat pemberitahuan meskipun keempatnya tidak selalu ada.

Pertama, seorang dokter dapat saja dalam pandangan profesionalnya menyimpulkan bahwa pemberitahuan memiliki ancaman kerugian terhadap pasien yang memang dikontradiinkasikan dari sudut pandang medis. Hal ini dikenal sebagai ”keistimewaan terapetik” atau ”kebijaksanaan profesional”. Dokter dapat memilih untuk menggunakan kebijaksanaan profesional terapetik untuk menjaga fakta medis pasien atau walinya ketika dokter meyakini bahwa pemberitahuan akan membahayakan atau merugikan pasien. Tergantung situasinya, dokter boleh namun tidak perlu membuka informasi ini kepada keluarga dekat yang diketahui.

Kedua, pasien yang kompeten dapat meminta untuk tidak diberitahu. Pasien dapat melepaskan haknya untuk membuat informed consent.

Ketiga, dokter berhak untuk tidak menyarankan pasien mengenai masalah yang diketahui umum atau jika pasien memiliki pengetahuan aktual, terutama berdasarkan pengalaman di masa lampau.

Keempat, tidak ada keharusan untuk memberitahu pada kasus kegawatdaruratan dimana pasien tidak sadar atau tidak mampu memberikan persetujuan sah dan bahaya gagal pengobatan sangat nyata.
Kasus Kegawatdaruratan dan Informed Consent


Umumnya, hukum melibatkan persetujuan pasien selama keadaan gawat darurat. Pengadilan biasanya menunda pada keadaan-keadaan yang membutuhkan penanganan segera untuk perlindungan nyawa atau kesehatan pasien karena tidak memungkinkan untuk memperoleh persetujuan baik dari pasiennya maupun orang lain yang memegang otoritas atas nama pasien. Pengadilan mengasumsikan bahwa seorang dewasa yang kompeten, sadar, dan tenang akan memberikan persetujuan untuk penanganan menyelamatkan nyawa. Penting untuk didokumentasikan keadaan yang terjadi saat gawat darurat. Pada keadaan tersebut, dokter harus mencatat hal-hal berikut ini : 1) penanganan untuk kepentingan pasien, 2) terdapat situasi gawat darurat, 3) keadaan tidak memungkinkan untuk mendapatkan persetujuan dari pasien atau dari orang lain yang memegang otoritas atas nama pasien.

Kenyataan bahwa tatalaksana yang diberikan mungkin memang disarankan secara medis atau mungkin akan berguna di waktu mendatang tidaklah cukup untuk melakukannya tanpa persetujuan. Jika dokter tidak yakin apakah kondisi pasien betul-betul membutuhkan tindakan segera tanpa persetujuan, maka dokter tersebut perlu melakukan konfirmasi dengan sejawatnya.
        Peraturan umum terkait persetujuan penanganan keadaan gawat darurat pada seorang anak sama saja dengan orang dewasa. Pengadilan biasanya menunda menyetujui dokter yang mengobati pasien anak “dewasa muda” (di atas 15 tahun) yang sudah dapat memberi persetujuan penanganan keadaan gawat darurat terhadap dirinya. Namun, tetap perlu diperhatikan untuk membuat informed consent dengan menghubungi orang tua pasien atau orang lain yang bertanggung jawab atas pasien tersebut.

BAB IV

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Berdasarkan ruang lingkup permasalahan dan tujuan penelitian maka peneliti menggunakan desain penelitian pre-experimen yaitu one-group pretest posttest design dengan metode survey yaitu peneliti mengukur tingkat pengetahuan perawat yang bekerja di ruang IRD yang mengacu pada standar America Heart Association (AHA) 2005 sebelum diberi Pendidikan Nonformal BHD dan sesudah diberi Pendidikan Nonformal BHD. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Majene Kabupaten Majene Propinsi Sulawesi Barat yang dilaksanakan pada bulan Juni minggu ke-2 tahun 2012 yaitu dari tanggal 10 s/d 21 Juni 2012. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat yang melakukan tindakan keperawatan di ruang IRD RSUD Majene. yang berjumlah kurang lebih 20 orang. 2. Sampel Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan di teliti (Sastroasmoro, 2008). Tapi pada penelitian ini penulis mengambil metode total sampling yakni semua perawat yang melakukan tindakan keperawatan dan bekerja di ruang IRD RSUD Majene. serta memenuhi kriteria sampel sebagai berikut : a. Kriteria inklusi : 1) Bersedia menjadi responden 2) Bekerja di ruang instalasi IRD 3) tidak pernah mengikuti pelatihan gawat darurat. b. Kriteria eksklusi: 1) Tidak sedang dalam perjalanan dinas/tugas luar 2) Tidak berstatus sebagai mahasiswa ijin 3) Tidak sedang menjabat sebagai kepala ruangan. Jumlah sampel pada penelitian ini yang memenuhi kriteria tersebut sebanyak 20 orang. D. Alur Penelitian Alur penelitian menguraikan persetujuan judul, izin pengambilan data, pengmbilan data, penetapan sampel, pembuatan proposal (perancangan dan uji kuesioner baru), pengisian kuesioner, pengolahan dan analisa data, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan.   Rancangan penelitian : pre-experimen design : one group pre test post test Pretest Intervensi (pelatihan) Post test Proses pelaksanaan pendidikan Nonformal BHD : 1. Instruktur : Instruktur dalam pemberian pendidikan nonformal BHD adalah perawat instalasi rawat darurat yang sudah pernah mengikuti Pelatihan Emergency Nursing sebanyak 3 orang, metode yang diberikan adalah teori dan skill. 2. Alat peraga : Alat peraga yang digunakan dalam pemberian pendidikan nonformal BHD adalah Phantom. E. Variabel Penelitian 1. Identifikasi Variabel Variabel merupakan gejala yang menjadi fokus dalam penelitian, variabel menunjukan atribut dari sekelompok orang atau objek yang mempunyai variasi antara satu dengan yang lainnya dalam kelompok itu (Riwidikdo, 2008). a. Variabel dependen Yang menjadi variabel dependen dari penelitian ini adalah pengetahuan dan keterampilan perawat tentang BHD. b. Variabel independen Yang menjadi variabel independen dari penelitian ini adalah Pendidikan Nonformal BHD. 2. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif a. Pengetahuan perawat Pengetahuan perawat adalah suatu pengetahuan yang di miliki oleh seorang perawat terhadap penatalaksanaan bantuan hidup dasar, sedangkan untuk mengukur tingkat pengetahuan perawat pada pre dan post test. Kriteria obyektif : 1) Meningkat jika pengetahuan perawat diatas nilai rata-rata ( > 37) 2) Tidak meningkat jika pengetahuan perawat dibawah nilai rata-rata (≤ 37) b. Bantuan hidup dasar (BHD) Bantuan hidup dasar adalah usaha yang dilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat penderita mengalami keadaan yang mengancam nyawa. F. Instrumen Penelitian Instrumen atau alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal-soal tentang BHD yang dibuat dengan mengacu pada konsep dan teori terkait berisi tentang data demografi dan pertanyaan yang berhubungan dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan perawat tentang tindakan bantuan hidup dasar di ruang IRD RSUD Majene. Soal-soal yang digunakan adalah soal-soal baku tentang penatalaksanaan bantuan hidup dasar sesuai dengan standar American Heart Association (AHA 2005). G. Pengolahan dan Analisa Data Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data, melalui tahap-tahap sebagai berikut : 1. Seleksi Hal ini bertujuan untuk mengklasifikasi data yang diteliti menurut kategori. 2. Editing Dilakukan setelah semua data terkumpul kemudian dilakukan pemeriksaan kelengkapan data menurut karakteristiknya masing-masing, kesinambungan data dan keragaman data. 3. Koding Dilakukan untuk memudahkan pengolahan data, semua hasil yang diperoleh disederhanakan dengan memberikan simbol pada setiap kriteria atau jawaban (pengkodean). 4. Tabulasi Data Setelah dikoding, selanjutnya data disusun dan dikelompokkan dalam suatu tabel dengan pengukuran data menggunakan pengukuran paired samples test untuk mengukur tingkat pengetahuan serta skala pengukuran wilcoxon signed rangks test untuk mengukur tingkat keterampilan dan sesuai dengan tujuan penelitian 5. Analisa Data Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan metode statistik program SPSS versi 17,0. Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisa univariat yang di lakukan terhadap tiap-tiap variabel penelitian untuk melihat tampilan distribusi frekuensi. H. Etika Penelitian Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi dari pihak institusi atas pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat penelitian dalam hal ini RSUD Majene. Setelah mendapat persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan menekankan masalah etika penelitian yang meliputi (Hidayat 2007) : 1. Informed Consent Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul dan manfaat penelitian. Bila subjek menolak maka peneliti tidak akan memaksakan kehendak dan tetap menghormati hak-hak subjek. 2. Anonymity Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, tetapi dengan cara memberikan kode tertentu. 3. Confidentiality Kerahasiaan informasi dijamin oleh peneliti, dan hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

BAB III

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS A. KERANGKA KONSEP Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan. Berdasarkan landasan teoritis yang dikemukakan pada tinjauan pustaka. Peneliti menganggap ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat pesat serta di dukung oleh sifat dasar manusia yang cenderung mempunyai rasa ingin tahu yang tak terbatas, maka dengan melalui proses pendidikan nonformal atau pelatihan sebagai salah satu peluang menambah pengetahuan dengan kata lain rasa ingin tahu tersebut akan terjawab sehingga peneliti membuat kerangka penelitian sebagai berikut : Keterangan : : diteliti : tidak diteliti Dalam penelitian ini kerangka konsep yang diambil adalah bahwa, pendidikan Nonformal merupakan faktor yang bisa mempengaruhi peningkatan pengetahuan perawat tentang BHD. B. HIPOTESIS PENELITIAN 1. HIPOTESIS NOL (HO) Tidak ada pengaruh Pendidikan Nonformal BHD terhadap peningkatan pengetahuan dan keterampilan perawat sebelum dan sesudah diberi pelatihan 2. HIPOTESIS ALTERNATIF (HA) Ada pengaruh diberikan Pendidikan Nonformal BHD terhadap peningkatan pengetahuan dan keterampilan perawat.

BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan 1. Pengertian. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dengan menggunakan mata dan telinga (Notoatmojo, 2007). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). 2. Tingkatan pengetahuan Soekidjo mengemukakan 6 tingkatan pengetahuan dalam domain kognitif antara lain : a. Tahu (know) Tahu di artikan sebagai mengingat suatu materi yang telah di pelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu itu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari. b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. c. Aplikasi (aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menguasai materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tapi masih dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, mengelompokan, dan sebagainya. e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu di dasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seseorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Dalam lingkungan ada bermacam-macam hal yang dialami individu itu melalui penerimaan panca inderanya serta alat penerimaan atau reseptor. Hal-hal yang dialaminya tersebut masuk dalam sel-sel otaknya sehingga terjadi bermacam-macam proses seperti proses fisik, fisiologis dan psikologis kemudian dipancarkan atau diproyeksikan individu tersebut menjadi suatu penggambaran tentang lingkungan. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin di ukur dari subjek penelitian atau responden. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain : a. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat di pungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah seseorang untuk menerima informasi dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki 1) Pendidikan formal Pendidikan formal yang sering disebut pendidikan persekolahan, berupa rangkaian jenjang pedidikan yang telah baku, misalnya SD, SMP, SMA dan PT. 2) Pendidikan informal Adalah suatu fase pendidikan yang berada di samping pendidikan formal dan nonformal. 3) Pendidikan nonformal Lebih difokuskan pada pemberian keahlian atau skill guna terjun ke masyarakat, misalnya pelatihan. Noe, Hollenbeck, Gerhart & Wright (2003:251) mengemukakan, “training is a planned effort to facilitate the learning of job-related knowledge, skills, and behavior by employee”. Hal ini berarti bahwa pelatihan merupakan suatu usaha yang terencana untuk memfasilitasi pembelajaran tentang pekerjaan yang berkaitan dengan pengetahuan, keahlian dan perilaku oleh para pegawai. b. Pekerjaan Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak . c. Umur Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis, dimana dalam aspek psikologis taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa. d. Pengalaman Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu baik dari dalam dirinya ataupun dari lingkungannya. Pada dasarnya pengalaman menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi individu yang melekat menjadi pengetahuan pada individu secara subyektif. e. Informasi Kemudahan seseorang untuk memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan baru (Zulkifli 2003) Untuk mendapatkan informasi salah satunya dari media. Media adalah alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan bahan pendidikan atau pengajaran. Media ini lebih sering disebut sebagai alat peraga karena berfungsi untuk membantu dan memperagakan sesuatu didalam proses pendidikan atau pengajaran. Media ini disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang ada pada setiap manusia diterima melalui panca indera. Semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian atau pengetahuan yang diperoleh. Dengan kata lain media dimaksudkan untuk mengerahkan panca indera sebanyak mungkin kepada obyek sehingga mempermudah pemahaman (Notoatmodjo.2007). B. Tinjauan Umum Tentang Bantuan Hidup Dasar 1. Pengertian Bantuan hidup dasar (Basic life support) adalah usaha yang dilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat penderita mengalami keadaan yang mengancam nyawa (Goyten, 2008). Prinsip BLS sendiri adalah SRABC, yaitu save, respon, airway, breathing dan circulation. Save dimaksudkan agar penolong memastikan keamanan diri, lingkungan dan korban, sebelum melakukan pertolongan. Respon diperlukan untuk mengetahui tingkat kesadaran korban. 2. Indikasi Bantuan Hidup Dasar a. Henti napas 1) Penyebab : Tenggelam, stroke, obstruksi jalan napas oleh benda asing, menghirup asap, keracunan obat, tersengat listrik, tercekik, trauma, MCI (miocard cardiac infark), dan lain-lain. 2) Tanda-tanda : Tidak ada aliran udara pernapasan dan pergerakan dada pasien. b. Henti jantung/cardiac arrest Pada saat henti jantung, maka sirkulasi dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital lainnya kekurangan oksigen. 3. Tujuan bantuan hidup dasar a. Menyelamatkan kehidupan. b. Mencegah keadaan menjadi lebih buruk c. Mempercepat kesembuhan 4. Langkah-langkah bantuan hidup dasar a. Proteksi diri Apabila anda menemukan penderita hal yang paling utama sebelum melakukan bantuan adalah proteksi diri mengingat saat ini bagitu banyak penyakit menular yang telah beredar di masyarakat. Centerst for disease and prevention (CDC) mencatat 54 kasus menular human insufisiensi virus (HIV) di tempat kerja pada petugas kesehatan di Amerika Serikat sampai desember 1998. 134 kasus tambahan suspek HIV sudah disampaikan (Oman, 2008). b. Periksa kesadaran korban Cara memeriksa kesadaran yakni dengan memanggil nama atau dengan cara memberikan tepukan pada bahu korban. Pada bayi lakukan jentikkan di telapak kaki dan jangan mengguncang-guncangkannya (Wong, 2004). Sedangkan Haws (2007) juga mengatakan pemeriksaan kesadaran pada bayi bisa dilakukan dengan mengelus punggung. Tingkat kesadaran biasanya dinilai dengan AVPU: A : Alert (sadar penuh) V : Verbal (menjawab rangsangan kata-kata) P : Pain (bereaksi atas rangsangan nyeri) U : Unresponsive (tidak berespon) Gambar 2.1: Memeriksa kesadaran. © 2005 European Resuscitation Council. c. Panggil bantuan/aktifkan 118 Bila anda berada di luar rumah sakit maka harus segera mengaktifkan sistem gawat darurat/emergency medical system (EMS) 118. Gambar 2.2 : Panggil bantuan. © 2005 European Resuscitation Council. Cara mengaktifkan Emergency Medical System (EMS) : 1) Bila korban bereaksi atau dalam keadaan luka dan perlu pertolongan medis, segera tinggalkan korban dan cari bantuan medis lalu segera kembali untuk memastikan kondisi korban 2) Jika penolong seorang diri dan korban tidak sadarkan diri : a) Aktifkan segera sistem gawat darurat b) Ambil automated external defibrillator (AED) bila tersedia c) Segera kembali ke korban untuk melakukan RJP dan menggunakan AED bila di perlukan. 3) Jika jumlah penolong dua atau lebih, salah satu penolong mengaktifkan EMS dan mengambil AED jika tersedia.sementara itu, yang lainnya melakukan tindakan RJP. 4) Jika gawat darurat terjadi di dalam gedung/rumah sakit/tempat pelayanan kesehatan yang sudah mempunyai sistem gawat darurat sendiri, segera minta bantuan untuk melakukan pertolongan. 5) Jika korban asfiksia segera lakukan tindakan resusitasi jantung paru (RJP). d. Memperbaiki posisi korban dan posisi penolong 1) Posisi korban a) Supin, permukaan datar dan lurus b) Memperbaiki posisi korban dengan cara log roll/in line bila dicurigai cedera spinal c) Jika pasien tidak bisa telentang, misalnya operasi tulang belakang lakukan RJP dengan posisi tengkurap 2) Posisi penolong Posisi penolong harus di atur senyaman mungkin dan memudahkan untuk melakukan pertolongan yakni di samping atau di atas kepala korban. e. Airway control Pada orang yang tidak sadar, tindakan pembukaan jalan napas harus dilakukan. Satu hal yang penting untuk diingat adalah, bahwa dengan melihat pergerakan pipi pasien tidaklah menjamin bahwa pasien tersebut benar-benar bernafas (pertukaran udara), tetapi secara sederhana pasien itu sedang berusaha untuk bernafas. Pengkajian pada airway juga harus melihat tanda-tanda adanya sumbatan benda asing dalam mulut yakni dengan menggunakan teknik cross finger, jika terdapat benda asing dalam mulut maka harus di keluarkan dengan usapan jari atau di kenal dengan teknik finger swab (AHA, Basic live suport renewal course, 2006) Teknik yang digunakan dalam membuka jalan napas yakni dengan chin lift-head tilt dan jika dicurigai terdapat trauma cervikal dapat menggunakan teknik jaw thrust namun teknik tersebut hanya bisa dilaksanakan oleh orang yang sudah profesional atau terlatih (Tabes, 2006). Cara melakukan teknik chin lift-head tilt : 1) Teknik chin lift-head tilt a) Pertama, posisikan pasien dalam keadaan terlentang, letakkan satu tangan di dahi dan letakkan ujung jari tangan yang lain di bawah daerah tulang pada bagian tengah rahang bawah pasien (dagu). b) Tengadahkan kepala dengan menekan perlahan dahi pasien. c) Gunakan ujung jari anda untuk mengangkat dagu dan menyokong rahang bagian bawah. Jangan menekan jaringan lunak di bawah rahang karena dapat menimbulkan obstruksi jalan napas. d) Usahakan mulut untuk tidak menutup. Untuk mendapatkan pembukaan mulut yang adekuat, anda dapat menggunakan ibu jari untuk menahan dagu supaya bibir bawah pasien tertarik ke belakang. Gambar 2.3 : Head tilt and chin lift. 2) Teknik Jaw thrust a) Pertahankan dengan hati-hati agar posisi kepala, leher dan spinal pasien tetap satu garis. b) Ambil posisi di atas kepala pasien, letakkan lengan sejajar dengan permukaan pasien berbaring. c) Perlahan letakkan tangan pada masing-masing sisi rahang bawah pasien, pada sudut rahang di bawah telinga. d) Stabilkan kepala pasien dengan lengan bawah Anda. e) Dengan menggunakan jari telunjuk, dorong sudut rahang bawah pasien ke arah atas dan depan. f) Anda mungkin membutuhkan mendorong ke depan bibir bagian bawah pasien dengan menggunakan ibu jari untuk mempertahankan mulut tetap terbuka. g) Jangan mendongakkan atau memutar kepala pasien. Gambar 2.4 : Jaw thrust. f. Breathing suport Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernapas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi dengan cepat selama 5 detik, paling lama 10 detik dengan cara : 1) Lihat/look Lihat lubang hidung apakah terbuka atau dalam keadaan istirahat, Perhatikan ekspansi dada menandakan ada tidaknya pernapasan. Carilah retraksi suprasternal, supraklafikular atau interkostal yang menunjukan adanya obstruksi. Cari gerakan paradoksal bagian dada manapun dan cari luka terbuka rongga thorax, perhatikan juga gerakan abdomen yang menunjukan diafragma bekerja. 2) Dengar/listen Telinga di dekatkan ke mulut korban untuk memastikan kembali bahwa ada pergerakan udara yang baik keluar dari hidung dan mulut. Dengan stetoskop, dengarkan thorax di anterior dan posterior, berikan perhatian khusus pada bagian atas dada di kedua sisi. 3) Rasa/feel Rasakan gerakan udara dari hidung dan mulut. Gambar 2.5 : Look listen and feel for normal breathing.© 2005 European Resuscitation Council. Penilain antara lain : a) Apabila pasien bernapas maka tempatkan pada posisi yang nyaman b) Apabila pernapasan tidak ada maka lakukan bantuan napas sebanyak 2 kali, dengan alat 400-600 ml dan tanpa alat 700-1000 ml (Handley, 2004) . Bantuan napas di lakukan dengan cara : (1) Mulut ke mulut Penolong memberikan bantuan napas langsung ke mulut korban dengan menutup hidung dan meniupkan udara langsung ke mulut, namun hal ini sangat beresiko untuk di lakukan apalagi pasien yang tidak di kenal mengingat bahaya penyakit menular. Gambar 2.6 : Menutup hidung korban sedang posisi kepala tetap ekstensi.© 2005 European Resuscitation Council Gambar 2.7 : Pemberian napas dari mulut ke mulut. ©2005 European Resuscitation (2) Mulut ke hidung Paling baik di lakukan pada neonaty. (3) Ventilasi mulut ke mask Gambar 2.7: Mouth-to-mask ventilation. © 2005 European Resuscitation Council (4) Ventilasi Mulut ke bag-valve-mask Gambar 2.8: The two-person technique for bag-mask ventilation.© 2005 European Resuscitation Council. g. Circulation 1) Kaji Nadi Bantuan sirkulasi segera dilakukan bila korban mengalami henti jantung. Langkah ini dilakukan segera setelah bantuan pernafasan awal diberikan. Untuk mengetahui ada tidaknya denyut nadi, lakukan perabaan arteri carotis untuk orang dewasa dan anak serta arteri brachialis atau femoralis untuk bayi, tindakan ini dilakukan maksimal 10 detik. 2) Kompresi Dada Indikasi pada korban yang mengalami henti jantung. Lakukan dengan tehnik yang benar. Awali dengan mencari titik kompresi yakni pada tulang sternum di antara dua papila mammae pada anak-anak dan laki-laki atau dua jari di atas os xifoideus pada perempuan. Letakkan salah satu telapak tangan yang lain diatas punggung tangan yang pertama, sehingga tangan dalam keadaan pararel. Jari-jari tangan saling mengunci. Untuk mendapatkan posisi yang efektif, beban tekanan dari bahu, posisi lengan tegak lurus, posisi siku tidak boleh menekuk posisi lengan tegak lurus dengan badan korban Tekan sternum 4-5 cm untuk korban dewasa, 2-3 cm pada bayi (Drew, 2008), lepaskan tekanan hingga dada kembali ke posisi normal Perbandingan kompresi dan ventilasi mengacu pada AHA Guidelines for CPR 2005, untuk korban dewasa 30 : 2 dengan 1 atau 2 orang penolong. Pada anak dan bayi 30 : 2 bila penolong 1 orang dan 15 : 2 untuk 2 orang penolong. Kecepatan kompresi yang dianjurkan adalah 100 kali per menit. Setelah RJP dilakukan selama 5 siklus atau 2 menit, 2 penolong harus berganti posisi, ventilator berpindah pada posisi kompresor dan sebaliknya. Haws (2007) mengatakan pada bayi dengan heart rate (HR) kurang dari 60 kali permenit harus di lakukan kompresi dada. Gambar 2.9 : Letakan satu tangan pada tulang sternum antara papila mammae atau dua jari diatas os xifoideus. Gambar 2.10 : Lakukan penekanan dada sebanyak 30 : 2 Indikasi dihentikannya RJP hingga kini masih menjadi perdebatan, tidak ada batasan waktu yang tegas disebutkan oleh para ahli namun beberapa hal yang menjadi pertimbangan antara lain: a) Korban telah menunjukan tanda-tanda kematian irreversible b) Sudah ada respons dari korban (ventilasi dan sirkulasi spontan) c) Ada penolong yang lebih berkompeten d) Penolong lelah atau sudah 30 menit tidak ada respon h. Defibrillation Pada defibrillation pengkajian dengan menggunakan alat automated external defibrillator (AED) untuk mengetahui irama nadi apakah ventrikel takikardi (VT tanpa nadi) atau ventrikel fibrilasi (FV) serta memberikan kejutan listrik sehingga gangguan irama tersebut dapat kembali normal. Gangguan irama tersebut harus segera di berikan tindakan karena dapat menimbulkan kematian. Satu energi dosis dilakukan untuk defibrilasi adalah 200 joule pada bifasik dan 360 joule pada monofasik. Idealnya dilakukan setiap 10 detik (Cayley, 2006). Pada saat di lakukannya defibrillating penolong tidak bisa menyentuh tubuh korban. Pada anak usia kurang dari 1 tahun tidak bisa di lakukan defibrillation. Gambar 2.11 : Defibrilation @ AHA 2005. C. Tinjauan Umum Tentang RSUD Majene Rumah sakit umum Daerah Majene adalah satu-satunya rumah sakit di kabupaten Majene, di mana rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit type C yang terletak di daerah provinsi Sulawesi Barat. Di ruang Instalasi Rawat darurat RSUD Majene terdiri dari 27 tenaga perawat , dan yang sudah pernah mengikuti pelatihan gawat darurat sebanyak 4 orang, sementara yang belum pernah mengikuti pelatihan gawat darurat sebanyak 23 orang ini menunjukkan bahwa tidak ada keseimbangan antara perawat yang sudah pernah mengikuti pelatihan dengan yang belum pernah mengikuti pelatihan. Hal ini sangat mempengaruhi pemberian pelayanan kegawat daruratan. Daerah Kabupaten Majene merupakan salah satu daerah yang tergolong rawan bencana karena letak daerahnya adalah perbukitan dan lautan. Perawat yang bekerja di Rumah Sakit tersebut sebagian besar merupakan lulusan diploma tiga keperawatan, pelayanan keperawatan di rumah sakit sudah baik namun sebagian besar perawat jarang mendapatkan pelatihan-pelatihan guna pengembangan pelayanan, bahkan dalam 3 tahun terakhir tidak ada perawat yang dikirim untuk mengikuti pelatihan, sehingga ilmu-ilmu atau skill yang di gunakan jarang terupdate, apalagi dalam pelayanan keperawatan gawat darurat. Dari hasil pengamatan penulis tentang pelayanan kegawat daruratan di RSUD Majene masih banyak perawat yang belum mengetahui dan menggunakan metode America Heart Association 2005 pada pasien gawat darurat.