INFORMED
CONSENT
Anda
Berhak Tahu Semuanya
Home
Persetujuan & Penolakan Informed Consent Informed C & Pengadilan
Penolakan Tindakan
Informed
consent
Tujuan
dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk
dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent
juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya
dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi
yang ia perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian
dapat dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan
psikis pada pasien.
Dokter
harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang kuat.
Menurut American College
of Physicians’ Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi dan mengerti
tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori terdahulu
yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum penganiayaan, kini
hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap,
tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.
Saat
untuk memberi informasi
Setelah hubungan dokter pasien
terbentuk, dokter memiliki kewajiban untuk memberitahukan pasien mengenai
kondisinya; diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, terapi,
risiko, alternatif, prognosis dan harapan. Dokter seharusnya tidak mengurangi
materi informasi atau memaksa pasien untuk segera memberi keputusan. Informasi
yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan pasien.Add content to your
paragraph here.
Elemen-elemen
Informed consent
Suatu
informed consent harus meliputi :
Dokter
harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya
Pasien
harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar
kemungkinan keberhasilannya
Pasien
harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila
penyakit tidak diobati
Pasien
harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi
Risiko
yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam
penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.
Ruang
Lingkup Pemberian Informasi
Ruang
lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis
pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung
jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien.
Di
Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa yang kompeten memiliki hak dasar
menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk pelaksanaan dan penghentian
pengobatan yang bersifat memperpanjang nyawa. Beberapa pengadilan membolehkan
dokter untuk tidak memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan. Dalam
mempertimbangkan perlu tidaknya mengungkapkan diagnosis penyakit yang berat,
faktor emosional pasien harus dipertimbangkan terutama kemungkinan bahwa
pengungkapan tersebut dapat mengancam kemungkinan pulihnya pasien.
Pasien memiliki hak atas informasi
tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu walaupun hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan
inkonklusif.
HAL-HAL
YANG DIINFORMASIKAN
Hasil
Pemeriksaan
Pasien
memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya
perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan,
maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.
Risiko
Risiko
yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi
yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi
idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang
diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut
juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang dokter mengetahui bahwa
tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang
lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak
yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat
dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
Alternatif
Dokter
harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia
harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan
dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme.
Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal
tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian
serta komplikasi yang mungkin timbul.
Rujukan/ konsultasi
Dokter
berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan
pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien
tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak
mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui
adanya dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.
Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua
prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko
dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat
tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa
yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian
beralasan yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa
bukan merupakan bagian dari informed consent.
Standar
Pengungkapan Yang Dikembangkan Oleh Pengadilan
Dua
pendekatan diadaptasi oleh pengadilan dalam menggambarkan lapangan kewajiban
pengungkapan seorang dokter - standar pengungkapan profesional, standar
pengungkapan umum, atau standar pasien secara layak.
Di
bawah standar pengungkapan profesional, tugas dokter untuk membuka rahasia
diatur oleh standar pelaku medis, dilakukan di dalam lingkungan yang sama atau
serupa. Standar pengungkapan ini yang diatur seterusnya baik oleh undang-undang
maupun hukum umum pada mayoritas peraturan Amerika Serikat menetapkan bahwa
seorang dokter harus memberi informasi sesuai dengan pelayanan kedokteran
terkini. Banyak pengadilan telah menegakkan standar pelaksana medis dalam
komunitas yang sama atau serupa, di bawah lingkungan yang sama atau serupa.
Jika seorang dokter bertugas untuk mengungkapkan suatu fakta dan jika begitu,
fakta apa yang wajib diberitahukan bergantung pada yang biasa dilakukan pada
komunitas setempat.
Standar
pengungkapan umum atau standar pasien secara layak, yang ditetapkan seterusnya
oleh undang-undang atau hukum umum dalam peraturan minoritas yang bermakna,
membebankan tugas pada dokter untuk memberitahu setiap informasi yang akan
bergantung pada proses pembuatan keputusan oleh pasien. Hal ini berbeda-beda
sesuai kemampuan pasien untuk memahaminya. Bahkan dalam pengakuan medis ahli
yang mendukung, seseorang dapat saja melanggar standar pengungkapan yang
seharusnya dalam peraturan ini jika juri berkesimpulan bahwa informasi spesifik
yang tidak diberitahukan akan berpengaruh bermakna terhadap keputusan pasien
apakah akan menjalani terapi tertentu atau tidak. Standar umum membiarkan juri
untuk memutuskan apakah dokter memberikan informasi yang cukup pada pasien
untuk membuat pilihan terhadap tatalaksana, sedangkan standar profesional
membiarkan dokter untuk menunjukkan apakah ia memberikan informasi yang cukup
sesuai standar pelayanan medis dalam komunitas tersebut. Perkembangan terkini
adalah pengadilan yang mengadaptasi bentuk standar umum.
Sekali
telah ditegakkan, baik oleh standar profesional atau umum, bahwa pasien tidak
menerima informasi yang biasanya dibutuhkan untuk membuat pilihan bijak
mengenai apakah akan menolak atau menyetujui terapi, pengadilan akan
memperhatikan materi dari informasi yang kurang tersebut; yaitu akankah
seseorang menolak atau menyetujui jika berada dalam lingkungan yang sama atau
serupa. Dengan kata lain, apakah kurangnya informasi menyebabkan
kecacatan/kerugian yang memang sudah diduga atau akankah pasien tetap
menyetujuinya dalam keadaan apapun. Tergantung dari peraturan yang terlibat,
pengadilan telah menetapkan satu dari dua standar yaitu standar objektf (juri
memutuskan apakah pasien dalam keadaan serupa akan menolak terapi) atau standar
subyektif (juri memutuskan apakah pasien yang sebenarnya akan menolak terapi).
Kebanyakan peraturan mengikuti standar
objektif.
Siapa
yang mengungkapkan ?
Siapa
yang bertanggungjawab untuk mendapatkan informed consent pasien - pengadilan
umumnya telah menempatkan tugas ini pada dokter yang didatangi pasien pada
waktu ada pertanyaan. Pengadilan umumnya mengenali bahwa dokter, bukan perawat
atau paramedis lainnya, berkemampuan untuk mendiskusikan tatalaksana dan
penanganannya. Perawat atau paramedis lainnya mungkin hanya penambah atau
pelengkap informasi spesifik dari dokter dengan informasi umum tergantung
situasi pasien. Dokter, selain dari dokter pertama pasien, memiliki kewajiban
yang independen untuk memberi informasi mengenai risiko, keuntungan, dan
alternatif pilihan yang ditujukan padanya.
Pengadilan
sangat jelas dalam opini tertulisnya bahwa tanggung jawab untuk memperoleh
informed consent dari pasien tetap dengan dokter dan tidak dapat didelegasikan.
Dokter dapat mendelegasikan otoritasnya (wewenangnya) untuk memperoleh informed
consent kepada dokter lain namun tidak dapat mendelegasikan tanggung-jawabnya
untuk mendapatkan informed consent yang tepat.
Peranan
Rumah Sakit
Pertanyaan yang sering muncul,
terutama dari dokter yang berpraktek di rumah sakit adalah ”Apakah rumah sakit
memiliki tanggung jawab untuk menjamin bahwa pasien menerima informasi yang
cukup meskipun pengadilan telah menempatkan tugas primer kepada dokter?”
Dalam teori respondeat superior,
manajer rumah sakit dapat ditahan dengan dokter pegawai rumah sakit yang lalai
untuk memperoleh informed consent yang dapat menimbulkan kecacatan dan
kegawatan pada pasien. Kebijakan rumah sakit harus mengatur mengenai bagaimana
informed consent diperoleh. Perawat atau petugas rumah sakit lainnya harus
menunda terapi yang sudah direncanakan dokter jika persetujuan yang sebelumnya
sudah diberikan ditarik kembali oleh pasien, sehingga dokter dapat
mengklarifikasi kembali keputusan pasien. Pengadilan cenderung untuk
menjatuhkan kewajiban yang lebih ketat kepada rumah sakit untuk memastikan
bahwa dokter memperoleh persetujuan/penolakan sebelum melakukan tindakan.
Bentuk
Persetujuan/Penolakan
Rumah
sakit memiliki tugas untuk menjamin bahwa informed consent sudah didapat.
Istilah untuk kelalaian rumah sakit tersebut yaitu ”fraudulent concealment”.
Pasien yang akan menjalani operasi mendapat penjelasan dari seorang dokter
bedah namun dioperasi oleh dokter lain dapat saja menuntut malpraktik dokter
yang tidak mengoperasi karena kurangnya informed consent dan dapat menuntut
dokter yang mengoperasi untuk kelanjutannya.
Bentuk
persetujuan tidaklah penting namun dapat membantu dalam persidangan bahwa
persetujuan diperoleh. Persetujuan tersebut harus berdasarkan semua elemen dari
informed consent yang benar yaitu pengetahuan, sukarela dan kompetensi.
Beberapa
rumah sakit dan dokter telah mengembangkan bentuk persetujuan yang merangkum
semua informasi dan juga rekaman permanen, biasanya dalam rekam medis pasien. Format
tersebut bervariasi sesuai dengan terapi dan tindakan yang akan diberikan.
Saksi tidak dibutuhkan, namun saksi merupakan bukti bahwa telah dilakukan
informed consent. Informed consent sebaiknya dibuat dengan dokumentasi naratif
yang akurat oleh dokter yang bersangkutan.
Otoritas
Untuk Memberikan Persetujuan
Seorang
dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui terapi yang
direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik atau
kejiwaan dan tidak mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed
consent yang sah. Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang
memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika pengadilan telah memutuskan bahwa
pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk pengadilan harus mengambil
otoritas terhadap pasien.
Persetujuan
pengganti ini menimbulkan beberapa masalah. Otoritas seseorang terhadap
persetujuan pengobatan bagi pasien inkompeten termasuk hak untuk menolak
perawatan tersebut. Pengadilan telah membatasi hak penolakan ini untuk kasus
dengan alasan yang tidak rasional. Pada kasus tersebut, pihak dokter atau rumah
sakit dapat memperlakukan kasus sebagai keadaan gawat darurat dan memohon pada
pengadilan untuk melakukan perawatan yang diperlukan. Jika tidak cukup waktu untuk
memohon pada pengadilan, dokter dapat berkonsultasi dengan satu atau beberapa
sejawatnya.
Jika
keluarga dekat pasien tidak setuju dengan perawatan yang direncanakan atau jika
pasien, meskipun inkompeten, mengambil posisi berlawanan dengan keinginan keluarga,
maka dokter perlu berhati-hati. Terdapat beberapa indikasi dimana pengadilan
akan mempertimbangkan keinginan pasien, meskipun pasien tidak mampu untuk
memberikan persetujuan yang sah. Pada kebanyakan kasus, terapi sebaiknya segera
dilakukan (1) jika keluarga dekat setuju, (2) jika memang secara medis perlu
penatalaksanaan segera, (3) jika tidak ada dilarang undang-undang.
Cara
terbaik untuk menghindari risiko hukum dari persetujuan pengganti bagi pasien
dewasa inkompeten adalah dengan membawa masalah ini ke pengadilan.
Kemampuan
Memberi Perijinan
Perijinan
harus diberikan oleh pasien yang secara fisik dan psikis mampu memahami
informasi yang diberikan oleh dokter selama komunikasi dan mampu membuat
keputusan terkait dengan terapi yang akan diberikan. Pasien yang menolak
diagnosis atau tatalaksana tidak menggambarkan kemampuan psikis yang kurang.
Paksaan tidak boleh digunakan dalam usaha persuasif. Pasien seperti itu
membutuhkan wali biasanya dari keluarga terdekat atau yang ditunjuk pengadilan
untuk memberikan persetujuan pengganti.
Jika
tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi kuasa untuk
bertindak atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari pengacara. Jika tidak
ada wali bagi pasien inkompeten yang sebelumnya telah ditunjuk oleh pengadilan,
keputusan dokter untuk memperoleh informed consent diagnosis dan tatalaksana
kasus bukan kegawatdaruratan dari keluarga atau dari pihak yang ditunjuk
pengadilan tergantung kebijakan rumah sakit. Pada keadaan dimana terdapat perbedaan
pendapat diantara anggota keluarga terhadap perawatan pasien atau keluarga yang
tidak dekat secara emosional atau bertempat tinggal jauh, maka dianjurkan
menggunakan laporan legal dan formal untuk menentukan siapa yang dapat
memberikan perijinan bagi pasien inkompeten.
Pengecualian
terhadap materi pemberitahuan
Terdapat
empat pengecualian yang dikenal secara umum terhadap tugas dokter untuk membuat
pemberitahuan meskipun keempatnya tidak selalu ada.
Pertama,
seorang dokter dapat saja dalam pandangan profesionalnya menyimpulkan bahwa
pemberitahuan memiliki ancaman kerugian terhadap pasien yang memang
dikontradiinkasikan dari sudut pandang medis. Hal ini dikenal sebagai
”keistimewaan terapetik” atau ”kebijaksanaan profesional”. Dokter dapat memilih
untuk menggunakan kebijaksanaan profesional terapetik untuk menjaga fakta medis
pasien atau walinya ketika dokter meyakini bahwa pemberitahuan akan
membahayakan atau merugikan pasien. Tergantung situasinya, dokter boleh namun
tidak perlu membuka informasi ini kepada keluarga dekat yang diketahui.
Kedua,
pasien yang kompeten dapat meminta untuk tidak diberitahu. Pasien dapat
melepaskan haknya untuk membuat informed consent.
Ketiga,
dokter berhak untuk tidak menyarankan pasien mengenai masalah yang diketahui
umum atau jika pasien memiliki pengetahuan aktual, terutama berdasarkan
pengalaman di masa lampau.
Keempat,
tidak ada keharusan untuk memberitahu pada kasus kegawatdaruratan dimana pasien
tidak sadar atau tidak mampu memberikan persetujuan sah dan bahaya gagal
pengobatan sangat nyata.
Kasus
Kegawatdaruratan dan Informed Consent
Umumnya,
hukum melibatkan persetujuan pasien selama keadaan gawat darurat. Pengadilan
biasanya menunda pada keadaan-keadaan yang membutuhkan penanganan segera untuk
perlindungan nyawa atau kesehatan pasien karena tidak memungkinkan untuk
memperoleh persetujuan baik dari pasiennya maupun orang lain yang memegang
otoritas atas nama pasien. Pengadilan mengasumsikan bahwa seorang dewasa yang
kompeten, sadar, dan tenang akan memberikan persetujuan untuk penanganan
menyelamatkan nyawa. Penting untuk didokumentasikan keadaan yang terjadi saat
gawat darurat. Pada keadaan tersebut, dokter harus mencatat hal-hal berikut ini
: 1) penanganan untuk kepentingan pasien, 2) terdapat situasi gawat darurat, 3)
keadaan tidak memungkinkan untuk mendapatkan persetujuan dari pasien atau dari
orang lain yang memegang otoritas atas nama pasien.
Kenyataan
bahwa tatalaksana yang diberikan mungkin memang disarankan secara medis atau
mungkin akan berguna di waktu mendatang tidaklah cukup untuk melakukannya tanpa
persetujuan. Jika dokter tidak yakin apakah kondisi pasien betul-betul
membutuhkan tindakan segera tanpa persetujuan, maka dokter tersebut perlu
melakukan konfirmasi dengan sejawatnya.
Peraturan umum terkait persetujuan
penanganan keadaan gawat darurat pada seorang anak sama saja dengan orang
dewasa. Pengadilan biasanya menunda menyetujui dokter yang mengobati pasien
anak “dewasa muda” (di atas 15 tahun) yang sudah dapat memberi persetujuan
penanganan keadaan gawat darurat terhadap dirinya. Namun, tetap perlu
diperhatikan untuk membuat informed consent dengan menghubungi orang tua pasien
atau orang lain yang bertanggung jawab atas pasien tersebut.